Pada dasarnya sebuah bank adalah perantara antara orang yang membutuhkan uang dengan orang yang kelebihan uang. Orang yang kelebihan uang menyimpan uangnya di bank sedangkan orang yang membutuhkan uang akan mengajukan pinjaman ke bank.
Bank dianggap sebagai lembaga terpercaya bagi nasabah untuk menyimpan dan mengelola uangnya karena operasional dan kebijakan sebuah bank diatur oleh undang-undang.
Nasabah yang menyimpan uangnya di bank akan mendapatkan keuntungan berupa bunga tabungan. Sedangkan uang nasabah yang disimpan di bank akan dikelola oleh bank dalam bentuk memberikan pinjaman kepada nasabah lainnya atau debitur dengan pengenaan bunga pinjaman.
Bank akan mendapatkan keuntungan karena besarnya bunga pinjaman jauh lebih besar daripada bunga tabungan. Itulah sekelumit tentang hubungan sederhana antara nasabah, debitur dan bank.
Nah dari bahasan di atas kelihatan bahwa bank wajib membayar bunga terhadap uang nasabah yang dititipkan kepadanya dan uang untuk membayar bunga tabungan nasabah diperoleh dari bunga pinjaman debitur. Itulah sistem operasional dari bank. Jadi dari perspektif ini sebenarnya bank sangat berkepetingan memberi pinjaman kepada debitur.
Dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, bank juga tidak gegabah karena menyangkut uang nasabah secara umum. Banyak hal yang menjadi pertimbangan bagi bank dalam merealisasikan kredit kepada debitur salah satunya adalah jaminan. Karena jaminan adalah jaring pengaman terakhir bagi bank untuk mengamankan uangnya.
Properti yang kita miliki dapat dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya. Karena properti merupakan barang dengan fisik dan legalitas yang jelas dan bernilai. Fisik objek yang menjadi jaminan jelas bentuk dan lokasinya. Legalitas properti dijamin undang-undang sedangkan nilai properti akan terlihat dari demand terhadap properti itu sendiri.
Besarnya pinjaman yang bisa diberikan oleh bank sebagai kreditur tergantung appraisal dari objek yang menjadi jaminan. Bank memiliki tenaga terampil untuk menentukan nilai suatu properti dan bebas menentukan besarnya pinjaman atau kredit yang bisa diberikan kepada debitur.
Tetapi sebenarnya besaran nilai pinjaman yang akan diberikan kepada debitur tidak melulu melihat nilai agunan, ada hal lain yang menjadi pertimbangan bank.
Jika kita lihat lebih jauh, hal lain yang mempengaruhi pinjaman adalah penilaian terhadap performa bisnis debitur itu sendiri terutama jika kredit yang diajukan dalam bentuk Kredit Modal Kerja atau Kredit Investasi.
Karena sesungguhnya yang menjadi pertimbangan utama kreditur dalam memberikan kredit adalah kemampuan membayar debitur atau sebagai first way out, sedangkan pilihan membayar hutang dengan memberdayakan jaminan merupakan jalan keluar yang kedua atau yang terakhir atau second way out.
Dalam hal Kredit Pemilikan Rumah (KPR) penilaian ditujukan kepada nilai rumah yang akan diajukan pembiayaannya, selanjutnya yang dinilai bankable-nya si konsumen yang meliputi kesanggupan membayar cicilan debitur berdasarkan pemasukan keuangan tetap, bisa berdasarkan besarnya gaji atau melihat performance perputaran rekening.
Tentu saja masih banyak yang akan diperhitungkan bank, apalagi KPR yang diajukan dalam jumlah yang besar. Satu hal yang nggak boleh lupa tentang pertimbangan kreditur memberikan kredit adalah penilaian terhadap attitude debitur itu sendiri, orang bank akan berfikir dan mengira-ngira bisa nggak orang ini dipercaya.
Dalam hal kredit perbankan, hak dan kewajiban masing-masing pihak dijabarkan dalam Perjanjian Kredit (PK). Secara umum hak bank adalah menerima pengembalian uang yang dipinjamkan kepada debitur dalam bentuk cicilan dan kewajibannya adalah memberikan uang pinjaman kepada debitur.
Di lain pihak hak debitur adalah menerima uang pinjaman dari bank diiringi kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut dalam bentuk angsuran yang besarnya sesuai kesepakatan. Dengan adanya kewajiban dari debitur, terkandung sanksi jika kewajiban tidak dipenuhi oleh karenanya dalam PK juga dijabarkan langkah-langkah yang harus dilakukan jika debitur wanprestasi.
Jika debitur wanprestasi, solusi yang biasa dicantumkan atau secara baku tercantum dalam PK adalah bank memberi waktu kepada debitur untuk melunasi hutangnya sampai beberapa lama waktu toleransi. Teknisnya adalah kreditur memberikan Surat Peringatan (SP) kepada debitur sampai beberapa kali.
Dalam SP tersebut terdapat peringatan dan pemaksaan agar si debitur melunasi hutangnya sesuai dengan yang telah diperjanjikan dalam PK. Dalam banyak kasus pada umumnya solusi yang ditawarkan oleh kreditur adalah dengan menjual jaminannya secara mandiri terlebih dahulu.
Artinya debitur dipersilahkan menjual jaminan tersebut tanpa campur tangan kreditur, namun tetap dalam koridor koordinasi dengan bank, karena keperluan kreditur hanyalah piutangnya tertagih dan terhindar dari kerugian.
Jika segala upaya penagihan hutang tidak berhasil maka bank akan melakukan upaya terakhir yaitu dengan penjualan melalui lelang yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) dimana lelang ini merupakan amanat dari UU No. 4 Tahun 1996tentang Hak Tanggungan. Dalam pelaksanaannya proses lelang bisa dilakukan oleh balai lelang swasta yang bekerjasama dengan kreditur dan KPKNL.
Bank dan Properti
Kenapa bank suka memberikan kredit dengan jaminan properti? Karena properti merupakan benda tidak bergerak yang tentu saja lebih aman secara fisik. Berbeda halnya jika jaminannya berupa benda bergerak seperti mobil, kapal, mesin-mesin produksi dan lain-lain dimana jaminan ini bisa saja hilang fisiknya.
Jaminan lain yang disukai bank adalah uang cash dalam bentuk deposito atau uang tabungan yang diblokir, Surat Perintah Kerja (SPK), saham, perhiasan, personal guarantee, corporate guarantee. Tetapi dalam prakteknya banyak bank yang tetap mensyaratkan jaminan utama berupa properti.
Alasan lainnya kenapa bank lebih suka memberi pinjaman dengan jaminan properti adalah karena properti mudah diuangkan dan mekanisme meng-uangkannyapun sudah diatur dalam Perjanjian Kredit (PK), diantaranya dengan cara menjual secara mandiri atau menjual secara lelang.
Tentang meng-uangkan jaminan yang macet dapat dilakukan dengan cepat apabila proses appraisal sudah benar sehingga properti dinilai sesuai dengan nilai sebenarnya.
Bank memiliki kebijakan tentang besarnya nilai Loan To Value (LTV) terhadap suatu jaminan dimana nilai LTV atau plafond tersebut harus di bawah nilai properti sehingga penjualan secara cepat bisa dilakukan minimal sesuai dengan nilai LTV. Dengan demikian bank bisa mendapatkan kembali uangnya.
Dan berita baiknya adalah pada umumnya nilai properti terus naik seiring perjalanan waktu dan tentu saja semakin mudah menjualnya di harga plafond karena nilai plafond tetap.
Selanjutnya bank menyukai jaminan berupa properti adalah karena properti terjamin secara legal. Keamanan legalitas properti diatur pemerintah dengan undang-undang yaitu UU No. 5 Tahun 1960 atau lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang dalam nama aslinya Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Selain itu, apabila telah ditandatanganinya PK dan telah didaftarkannya pencatatan Hak Tanggungan tersebut ke BPN maka penguasaan secara hukum terhadap properti jaminan tersebut otomatis akan berpindah kepada bank sehingga objek jaminan tersebut tidak bisa lagi dialihkan haknya kepada pihak lain sampai dilunasi hutangnya.
Apabila hutang debitur sudah lunas maka bank akan mengeluarkan Surat Keterangan Lunas diiringi dengan surat roya untuk menghapus catatan hak tanggungan yang melekat di sertifikatnya.
Sebenarnya jika bisa memilih, kreditur lebih lebih suka hutang debitur dibayar sesuai nilai dan terms yang disepakati dalam Perjanjian Kredit (PK) daripada menyita atau melelang jaminan. Karena dengan dipenuhinya pasal-pasal dalam PK bank tidak membutuhkan effort tambahan dalam mendapatkan haknya.
Karena apabila debitur tidak sanggup memenuhi kewajibannya, bank akan membutuhkan usaha tambahan berupa penagihan dan proses lelang. Dari pengalaman, lelangpun tidak semerta-merta sukses dilakukan karena adakalanya lelang harus dilakukan berkali-kali karena tidak ada peminatnya.
Di sisi lain adanya debitur yang bermasalah dalam memenuhi kewajibannya mengakibatkan meningkatnya kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) di suatu bank. Konsekuensi logisnya, jika NPL tinggi maka kesehatan bank tersebut menurun dan pendapatan bank dari bunga kredit berkurang sehingga mengganggu kinerja bank dalam memberikan kredit selanjutnya. Ujung-ujungnya jika kinerja bank terus memburuk, bank tersebut bisa terkena likuidasi.
No comments:
Post a Comment