Pajak-Pajak dalam Transaksi Jual Beli Properti
Setiap transaksi yang terjadi di bidang real estate dikenakan pajak, karena dalam transaksi terjadi perpindahan barang/hak dari suatu subjek pajak kepada subjek pajak lainnya.
Terdapat dua komponen dalam suatu transaksi jual beli property, yaitu subjek dan objek pajak.
Subjek pajak terdiri dari Penjual dan Pembeli, sementara objek pajak adalah propertinya.
Dalam hal ini penjual dan pembeli diwakili oleh data-data yang ada dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk subjek pajak berupa orang pribadi.
Jika penjual dan pembeli adalah badan hukum atau perseroan terbatas (PT), yayasan maka subjek pajaknya adalah data-data yang tercantum di dalam akta-akta perseroan atau akta yayasan, mulai dari akta pendirian dan akta-akta perubahannya (jika ada).
Bukti badan hukum sebagai subjek pajak lainnya adalah Surat Keputusan Pengesahan sebagai badan hukum (SK) dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Jika suatu PT atau yayasan belum mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum dari Kemenkumham maka PT atau yayasan tersebut belum sah sebagai badan hukum.
Penjual dikenakan pajak karena menerima penghasilan/kenikmatan berupa uang dari perpindahan hak yang terjadi (transaksi jual beli), sementara pembeli dikenakan pajak karena menerima barang atau menerima hak.
Apa saja biaya yang ditanggung oleh penjual dan pembeli?
Pajak yang ditanggung penjual adalah PPh final dan pelunasan PBB sampai tahun berjalan.
Pajak yang ditanggung pembeli adalah PPN, BPHTB, PPnBM, PNBP dan biaya balik nama.
Biaya yang ditanggung berdua adalah biaya akta jual beli.
Setiap transaksi yang terjadi di bidang real estate dikenakan pajak, karena dalam transaksi terjadi perpindahan barang/hak dari suatu subjek pajak kepada subjek pajak lainnya.
Terdapat dua komponen dalam suatu transaksi jual beli property, yaitu subjek dan objek pajak. Subjek pajak terdiri dari Penjual dan Pembeli, sementara objek pajak adalah propertinya.
Dalam hal ini penjual dan pembeli diwakili oleh data-data yang ada dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) untuk subjek pajak berupa orang pribadi. Jika penjual dan pembeli adalah badan hukum atau perseroan terbatas (PT), yayasan maka subjek pajaknya adalah data-data yang tercantum di dalam akta-akta perseroan atau akta yayasan, mulai dari akta pendirian dan akta-akta perubahannya (jika ada).
Bukti badan hukum sebagai subjek pajak lainnya adalah Surat Keputusan Pengesahan sebagai badan hukum (SK) dari Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jika suatu PT atau yayasan belum mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum dari Kemenkumham maka PT atau yayasan tersebut belum sah sebagai badan hukum.
Penjual dikenakan pajak karena menerima penghasilan/kenikmatan berupa uang dari perpindahan hak yang terjadi (transaksi jual beli), sementara pembeli dikenakan pajak karena menerima barang atau menerima hak.
Jadi secara mudah dapat dipahami bahwa saat kita menerima penghasilan maka kita harus membayar pajak ke Negara, begitu juga ketika kita menerima barang kitapun diwajibkan membayar pajak ke Negara. Hmmm, sangat enak jadi Negara karena dari penjual dapat dan dari pembeli juga dapat..
Pajak yang Dikenakan Kepada Penjual Properti
1. Pajak Penghasilan (PPh) Final
Disebut juga Pajak Penghasilan Sehubungan dengan Pengalihan Hak Atas Tanah & Bangunan adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan.
Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Final yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.
Besarnya PPh adalah 2,5 % dari Nilai Peralihan/Nilai Transaksi.
Contohnya sebuah rumah di Kebon Jeruk, Jakarta Barat tipe 250/200 ditransaksikan dengan harga 3 milyar rupiah dengan demikian pemiliknya dikenakan PPh final sebesar:
= 2,5% x 3 milyar rupiah
= 75 juta rupiah
2. Pajak Bumi Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya.
Besarnya nilai PBB tergantung lokasi, bisa dilihat di Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB), dimana dalam SPPT tercantum besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan besarnya PBB yang harus dibayar. Dimana pembayaran PBB dilakukan tiap tahun.
Pajak Bumi dan Bangunan atas Properti di Indonesia Terbilang Kecil
Kenyataannya PBB terbilang kecil dibandingkan dengan nilainya. Berikut contoh perhitungan pajak properti berupa PBB:
- Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) : 2.049.175.000
- NJOP Tidak Kena Pajak (NJOP TKP) : 15.000.000
- NJOP untuk perhitungan PBB : 2.030.175.000
- Maka PBB yang terhutang adalah 0.2 % x 2.030.175.000 : 4.060.350
Bisa dilihat bahwa jika memiliki properti dengan nilai NJOP sebesar 2.049.175.000 maka kewajiban membayar PBB per-tahun hanyalah 4.060.350 rupiah.
Nilai ini tentu sangat kecil jika dibanding nilai objek pajak sesungguhnya. Karena nilai properti sebenarnya pada umumnya lebih tinggi dari NJOP.
Itulah contoh perhitungan jumlah PBB satu unit rumah di Jakarta. Satu lagi kemudahan terhadap PBB di Jakarta, saat ini pembayaran PBB untuk NJOP lebih kecil dari 1 milyar rupiah digratiskan.
Pajak yang Ditanggung Oleh Pembeli dalam Transaksi Jual Beli Properti
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. PPN dibayarkan oleh pembeli tetapi dipungut oleh penjual yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan menyetorkan ke Negara.
Di bidang properti PPN dikenakan terhadap properti primary yang dijual oleh developer ke konsumen. Jadi transaksi jual beli antara orang pribadi untuk transaksi properti secondaryatau rumah seken tidak dikenakan PPN.
Besarnya PPN adalah 10 % dari Nilai Peralihan.
Kecuali peralihan hak untuk rumah sederhana tidak dikenakan PPN. Rumah sederhana yang dimaksud di sini adalah rumah yang harga jualnya diatur oleh pemerintah. Rumah ini dikenal juga sebagai rumah subsidi karena memang dalam pembelian konsumen disubsidi oleh pemerintah dalam bentuk:
- Harga rumah dibatasi, contohnya untuk perumahan di Pulau Jawa dan Sumatera harga perumahan subdisi adalah 116,5 juta rupiah di tahun 2016.
- Uang muka yang rendah, hanya sekitar 1% saja dari harga rumah. Dengan demikian untuk membeli rumah masyarakat berpendapatan rendah (MBR) hanya perlu menyediakan uang muka sekitar 1 juta-an ditambah dengan biaya-biaya lain seperti BPHTB, biaya PPAT/Notaris, biaya provisi dan administrasi bank yang jumlahnya tidak lebih dari 4 juta. Sehingga untuk membeli rumah masyarakat cukup menyediakan uang 5 juta saja, bahkan bisa lebih rendah.
- Bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang rendah sehingga cicilannya ringan. Bunga KPR hanya 5%, lebih rendah dibandingkan dengan bunga KPR untuk perumahan non subsidi yang masih di atas 8% bahkan untuk bank tertentu bunganya di atas 10%.
- BPHTB ada potongan.
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dalam Penjualan Properti
PPnBM adalah pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Di bidang properti PPnBM hanya berlaku untuk primary product atau rumah atau produk property lainnya dari developer ke konsumen, tidak berlaku untuk transaksi antara individu atau secondary product.
Besarnya PPnBM adalah 20 % dari Nilai Transaksi.
Syarat bahwa suatu transaksi jual beli properti itu dikenakan PPnBM:
- Hunian mewah seperti apartemen, kondominium, town house, luas 150 m2 atau lebih dan harga jual bangunanya Rp 4.000.000/m2.
- Rumah termasuk rumah kantor (rukan) atau rumah toko (ruko) dengan luas bangunan minimal 400 m2 dan harga jual bangunan Rp. 3.000.000/m2.
- Namun saat ini, kedua syarat di atas sudah tidak berlaku lagi karena berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 206/PMK.010/2015, properti digolongkan barang mewah apabila harganya mencapai 20 milyar rupiah untuk rumah tapak dan 10 milyar rupiah untuk apartemen. Jadi saat ini tidak melihat luas dari properti tersebut. Patokannya hanya harga jualnya.
3. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pungutan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Dimana perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Besarnya BPHTB adalah 5% dari Nilai Transaksi. Dimana Nilai Transaksi dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). Besarnya NPOPTKP berbeda-beda tergantung daerah.
Untuk di Jakarta saat ini NPOPTKP adalah 80 Juta, untuk BODETABEK 60 Juta. Dan untuk daerah lain di Indonesia bisa saja berbeda. Silahkan ditanyakan ke dinas pendapatan daerah masing-masing, bisa juga ke BPN atau kantor Notaris.
BPHTB = 5% x (Nilai Transaksi-NPOPTKP)
Contohnya satu unit rumah di Bogor, Jawa Barat ditransaksikan dengan harga 100 juta rupiah, maka besarnya BPHTB adalah sebagai berikut:
= 5% x (100 juta – 60 juta)
= 5% x 40 juta
= 2 juta rupiah
Enaknya di Jakarta, BPHTB untuk NJOP di bawah 2 milyar digratiskan. Ini berdasarkan Pergub Nomor 193 Tahun 2016 Tentang Pembebasan 100 Persen atas BPHTB Karena Jual Beli atau Pemberian Hak Baru Pertama Kali dan atau Pengenaan Sebesar Nol Persen Bea Waris atau Hibah Wasiat dengan Nilai Jual Objek Pajak Sampai dengan Rp 2 Miliar.
Jadi untuk transaksi rumah dengan NJOP 1,9 milyar rupiah (contohnya) tidak dikenakan BPHTB. Peraturan ini didorong oleh kenyataan masih banyaknya orang yang tidak sanggup mengurus sertifikat karena mahalnya BPHTB yang harus dibayarkan.
Karena BPHTB dikenakan tidak hanya untuk jual beli tetapi juga dikenakan terhadap permohonan hak (pembuatan sertifikat) untuk pertama kali. Diharapkan masyarakat yang tidak memiliki uang untuk membayar BPHTB sanggup mensertifikatkan tanahnya.
Contohnya seseorang memiliki tanah seluas 500 m2 dan nilai NJOP tanahnya adalah 3.500.000/m2, tanahnya berlokasi di Jakarta Joglo, Jakarta Barat. Tanah tersebut belum bersertifikat, jika dia bermaksud mengurus sertifikatnya maka BPHTB yang menjadi kewajibannya adalah:
5% (500 x 3.500.000 – 80.000.000)
5% (1.750.000.000 – 80.000.000)
5% x 1.670.000.000
83.500.000 rupiah
Dapat dilihat bahwa untuk mensertifikatkan tanah tersebut dia membutuhkan uang 83.500.000 rupiah. Itu hanya untuk bayar BPHTB saja, belum lagi biaya lain-lain. Tentu jumlah ini sangat besar bagi sebagian masyarakat.
Sementara untuk rumah subdisi pemerintah BPHTB saat ini dikurangi 25% dari nilai BPHTB normal. Ke depan ada wacana pemerintah akan menggratiskan BPHTB ini. Semoga bisa terealisasi, dengan demikian semakin mudah masyarakat berpendapatan rendah dalam memiliki rumah.
Misalnya ditransaksikan satu unit perumahan subsidi seharga 116,5 juta, maka BPHTB yang harus dibayar adalah:
5% x (116,5 juta – 60 juta) x 75%
5% x 56.500.000 x 75%
2.118.750 rupiah
4. Peneriman Negara Bukan Pajak (PNBP)
PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Pembayaran PNBP dilakukan ketika pengajuan permohonan baliknama sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Besarnya PNBP dalam transaksi jual beli properti adalah (0,1 % x Zona Nilai Tanah) + 50.000
Dimana Zona Nilai Tanah (ZNT) adalah suatu poligon yang menggambarkan nilai tanah yang relatif sama atas sekumpulan bidang tanah yang ada di dalamnya, yang batasannya bisa bersifat imajiner ataupun nyata sesuai dengan penggunaan tanah. Nilai ZNT dikeluarkan oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN.
Penetapan nilai ZNT adalah berdasarkan perkiraan dan analisa harga tanah di lokasi, tidak termasuk nilai bangunannya.
No comments:
Post a Comment